Siapa bilang
hidup berumah tangga itu enak? Siapa bilang kalau baru merintis kehidupan rumah
tangga, jalan yang akan dilalui mulus-mulus saja? Buktinya aku. Baru berumah
tangga, tapi hidup udah tersiksa. Saat malam pertama, udah menderita.
Malam-malam selanjutnya? Ikuti aja kisah ini dahulu.....
***
Aku dan Dika
sudah berkenalan selama tujuh tahun lebih. Kami memutuskan untuk mulai membina
hubungan yang lebih dari sekedar teman, setelah lima tahun kenalan. Banyak suka
dukanya. Apalagi kesibukan kami masing-masing yang membuat kami tidak mempunyai
cukup waktu untuk bertemu. Tetapi komunikasi selalu kami usahakan setiap
harinya.
Masa-masa itu
sungguh indah. Aku bahagia. Sangat bahagia. Aku yakin kalau dia lah pangeran
yang tepat untukku. Caranya menyayangiku, menjagaku, dan selalu ingin
membahagiakanku, membuatku tak bisa berpaling darinya. Aku merasa amat sangat
berarti karenanya.
Sekian lama kami
jalani bersama. Banyak suka duka. Tapi kami tetap bertahan. Kami ingin hubungan
ini bisa berlanjut hingga ke jenjang pernikahan, hingga memiliki anak cucu
kelak. Sampai akhirnya beberapa tahun kemudian, keinginan itu mulai terwujud.
Keluarganya datang melamar. Semua berjalan lancar. Sungguh, saat itu aku amat
sangat bahagia tanpa sadar bahwa ada “sesuatu” yang tidak menyenangkan yang
menanti....
***
Kesibukan
mengurusi pesta pernikahan mencapai puncaknya hari ini. Besok pagi hari H nya
tiba. Akad nikah akan dilaksanakan dan disambung dengan pesta. Sebagai mempelai
wanita, aku tidak diperbolehkan untuk membantu persiapan ini. Aku diharuskan
untuk mendekam di kamar dengan alasan menjaga stamina dan penampilan untuk
besok. Tetapi memang, persiapan-persiapan yang lainnya (baju, undangan,
suvenir, pemilihan hiburan, menu masakan, tempat sewa peralatan dan yang
lainnya) aku berdua Dika yang mengurus. Kami ingin mempersiapkan hari
pernikahan kami sebaik-baiknya. Kami ingin merasakan kenikmatan mengurusi pesta
ini.
“Mi, udah dong.
Jangan mondar-mandir terus,” tegur Sita, sahabatku.
“Aku gugup Sit.
Aku takut kalau semuanya nggak berjalan lancar besok,”
“Udah. Kamu
tenang aja. Insyaallah semua berjalan lancar kok,”
“Tapi gimana
bisa tenang Sit. Lihat, diluar sibuk banget. Sedangkan aku disini nggak tau mau
ngapain. Kalau misalnya aku ada kerjaan kan lumayan, bisa ngalihin pikiran
juga,”
“Emangnya kamu
mau ngapain ha? Kamu harus jaga kondisi kamu supaya besok bisa tampil prima.
Besok kamu yang jadi ratu pesta, semua mata tertuju padamu Mia,”
“Hmm... mulai.
Dasar korban iklan!” ejekku sambil melempar bantal ke Sita.
Untung ada Sita
yang menemaniku disini. Kalau nggak,
alamat suntuk banget aku. Mana HP disita lagi, supaya nggak bisa menghubungi
Dika. Aneh ya, masa’ dipingit sampai segitunya segala? Apa memang aku-nya yang
nggak tau soal ketentuan pingit memingit?
***
Hari H.
Alhamdulillah,
acara akad nikah tadi berjalan lancar. Sekarang aku dan Dika sudah sah menjadi
suami istri :D
Kalau untuk
acara pesta, memang ada sedikit kendala tadi. Sekitar jam 13.00 WIB, banyak
orang berbondong-bondong datang ke pesta kami. Kami sebagai penyelenggara tentu
saja kaget. Awalnya aku pikir, mungkin ada demo atau mungkin masyarakat sini
merasa terganggu dengan suara hiburan yang kami adakan. Maklumlah, namanya juga
hiburan nikahan, dimana-mana kan suaranya emang gede.
Tetapi yang
lebih membuatku dan seluruh keluarga besar tercengang, orang-orang tadi malah
masuk, mengambil makanan dan mencari tempat duduk. Kontan saja, kursi yang
disediakan tidak cukup untuk menampung mereka semua. Mungkin jumlah mereka 300
lebih. Stok makanan pun kandas, sementara keributan karena banyak yang nggak
dapat kursi mulai mengalahkan suara hiburan yang ada.
Selidik punya
selidik, baru lah ketahuan dimana masalahnya. Dan ternyata semua berawal dari
jejaring sosial saudara-saudara!
Yang namanya
manusia, pengen dong ya ngikutin tren yang ada. Dan saat orang ramai-ramai
menyebarkan undangan pernikahannya lewat jejaring sosial, aku dan Dika juga gak
mau kalah. Kami invite teman-teman
kami untuk datang ke acara pesta pernikahan kami. Awalnya memang hanya ingin
mengundang teman-teman jauh yang nggak bisa diberikan undangan secara langsung.
Teman-teman yang hanya kenalan di jejaring sosial itu, kayaknya nggak perlu
kali diundang. Tapi mengingat jumlah temanku dan teman Dika yang mencapai 3000
lebih, apalagi banyak teman yang mengganti namanya dengan nama yang aneh-aneh,
maka terpaksa kami invite saja
sebagian besar dari list teman kami.
Kami pun
bernapas lega saat beberapa hari menjelang hari H, yang menyatakan akan datang
hanya sekitar 50-an orang saja. Soalnya kalau semua datang kan berabe juga.
Tadi malam ku coba cek lagi, yang mastiin datang memang bertambah sih jumlahnya
menjadi 67 orang. Tapi masih bisa lah. Trus, sekarang yang datang kok
mem-bludak gini ya??? Jauh, amat sangat jauh dari perkiraan!!!
Mau nggak mau,
seksi konsumsi jadi sibuk menghubungi rumah makan terdekat mencari tambahan
makanan. Orangtuaku dan ortu Dika juga ikutan sibuk ngurusin dananya. Tinggallah
aku dan Dika berdua di pelaminan. Mana pas mereka pamitan, antriannya panjang
minta ampun. Aku sih nggak masalah menerima ucapan selamat dari mereka sambil
mengucapkan terimakasih ke semua undangan yang datang. Aku malah bersyukur
karena mereka mau mendoakan kami. Tapi yang bikin nggak tahan itu saat harus
ngasi senyum termanis ke mereka semua. Bayangin aja kalau harus nahan senyum
sampe 1,5 jam lebih non-stop! Pegel juga pipi jadinya.
***
Jam 20.00 WIB,
pesta udah selesai. Tapi berhubung keluarga kami banyak yang nginap dirumah,
jadi kalau mau mandi terpaksa ngantri. Untungnya jam 9 malam, aku udah mandi.
Udah bersih semuanya, termasuk make up yang tebalnya minta ampun itu. Dika juga
udah.
Berhubung udah
capek seharian, pengen banget rasanya segera tidur, melepas lelah. Tapi segan
juga sama keluarga yang lain kalau misalnya kami langsung tidur. Sedangkan
mereka masih sibuk bercengkerama di ruang tamu. Akhirnya kami pun ikut
bergabung dengan mereka.
Dan sialnya,
berhubung yang ngobrol kebanyakan orangtua, trus karena jarang ngumpul jadi
mereka manfaatin kesempatan ini untuk nostalgia. Terpaksalah kami mengikuti
obrolan mereka yang nggak tau kapan selesainya. Mau menyela pembicaraan mereka
untuk pamit tidur, segan juga rasanya.
Jam 11 malam
tiba. Mata nggak bisa diajak kompromi. Kami mengikuti pembicaraan mereka sambil
tidur-tidur ayam. Setengah jam kemudian barulah nenek menyuruh kami tidur
karena sadar bahwa kami sudah sangat mengantuk.
Dengan hati
penuh suka cita, kami pun masuk kamar dan mengunci pintu. Rasa kantuk perlahan
berkurang. Setelah tiga hari dipingit, baru sekarang lah kami bebas
bercengkrama berdua. Kalau seharian tadi kan masih kurang bebas karena banyak
dikelilingi keluarga.
Rasa kantuk kami
jadi hilang total 15 menit kemudian. Keponakan-keponakan kami yang dilepas
bermain oleh orangtuanya, sibuk berlari kesana kemari sambil berteriak-teriak. Gimana
bisa tidur kalau berisik gitu?
“Bang, kalau
gini caranya, kayaknya kita nggak bisa tidur deh malam ini. Padahal Mia udah
capek banget,” keluhku pada Dika.
“Sabar ya dek.
Sini abang ninabobo-in,” ucapnya seraya membelai rambutku dan menyanyikan
lagu-yang-aku-nggak-tau-apa-judulnya.
Nggak
lama kemudian, aku pun mulai terlelap.
Tok...tok...tok....
“Om,
Tante... buka pintunya dong!!!”
Otomatis
aku terlonjak kaget. Dika juga kelihatan kaget. Gimana nggak kaget kalau
suasana yang udah lumayan tentram barusan karena suara anak-anak itu nggak
kedengeran lagi, tiba-tiba dihancurkan dengan suara teriakan mereka dan ketukan
serta GEDORAN KAMARKU!!!
Arggh.....
gangguin tidur aja!
“Bentar
ya. Abang liat dulu,” kata Dika sambil turun dari tempat tidur dan membuka
pintu kamar.
Tanpa
dikomando lagi, anak-anak itu langsung berlarian masuk ke kamar dan naik ke
tempat tidur kami. Bayangin aja, 13 orang anak-anak yang umurnya 3-7 tahun naik
semua ke tempat tidur! Aku pun sampai terhimpit-himpit jadinya.
Dika
bengong sambil bergantian memandangku dan anak-anak ini. Aku pun nggak kalah
bengong.
“Tante,
kami tidur disini ya. Tempat tidurnya cantik. Empuk lagi. Diluar nggak enak.
Banyak nyamuk,” ucap Vivi, ponakanku, anak dari sepupuku.
Anak-anak
yang lainnya pun pada heboh minta diizinin tidur di kamarku. Aku dan Dika hanya
bisa menghela napas panjang.
“Gimana
bang?”
“Abang
juga bingung. Mana abang juga udah lemas. Capek juga seharian ini walau nggak
banyak kerja,”
Aku
menatap ponakan-ponakan kami. Oh no! Udah ada yang tidur ternyata!
“Ya
udahlah bang, mau gimana lagi. Terpaksa kita biarin mereka tidur disini,”
Dika
menghela napas panjang. Aku cuma bisa tertawa. Terpaksa. Kami pun membangunkan
ponakan yang udah tertidur. Kami susun
mereka supaya tidurnya rapi. Karena memang jumlahnya banyak, otomatis nggak
muat semua diatas tempat tidur.
Citra,
ponakannya Dika yang berusia 3 tahun, berkata dengan sok bijak:
“Ya
udah Om, Tante, nggak usah bingung. Kalau nggak muat semua di tempat tidur,
Citra di kolong tempat tidur juga nggak pa-pa kok,”
Otomatis
aku dan Dika tertawa. Lumayan, keluguannya bisa menghilangkan sedikit penat
badan. Setelah diakal-akali, akhirnya hanya bisa 6 orang yang tidur di atas
(itupun terpaksa meja perhiasan di deketin ke tempat tidur dan sebagian dari
mereka tidurnya diatas meja perhiasan!) dan yang lainnya tidur di lantai.
Untung aja lantainya dilapisi karpet. Oh iya, si Citra tidurnya di bawah kolong
tempat tidur. Dia keukeuh pengen tidur disitu. Nggak mau pindah. Saat disuruh
tidur diluar pun, nggak ada yang mau. Pengennya tidur di kamar ini.
Saat
berhasil menyusun tempat tidur bagi mereka, kami pun bernapas lega. Tapi...
“Eh
dek, trus kita tidur dimana?” tanya Dika sambil memandangku dan isi kamar yang
penuh dengan anak-anak.
Aku
terdiam. Baru nyadar kalau ternyata memang nggak ada tempat lagi untuk kami.
Terpaksa aku dan Dika tidur diluar, gabung sama keluarga-keluarga yang lain di
ruang tamu. Tapi yang tak aku sangka ternyata ruang tamu pun udah penuh.
Keluarga-keluarga jauh yang nggak bisa pulang hari ini terpaksa menginap di
rumahku malam ini. Pantas saja anak-anak itu nggak mau tidur diluar. Jangankan
tempat untuk kami, tempat untuk mereka aja nggak ada!
“Jadi
gimana dek? Kita tidur dimana?” tanya Dika.
“Dimana
ya bang? Kamar satu lagi ada orang. Ibu-ibu yang punya anak bayi tidur disitu
semua. Tidur di dapur nggak mungkin. Peralatan makan berserak semua disitu. Masa’
mau tidur di kamar mandi? Yang nggak ada orang kan cuma kamar belakang. Tapi
kamar tu udah dijadikan gudang selama beberapa bulan ini,”
“Kalau
tidur di hotel, mau?”
“Disini
kan nggak ada hotel, Abang! Penginapan ada. Tapi kan pada penuh semua. Makanya
keluarga-keluarga kita terpaksa nginap disini, nggak jadi di penginapan,”
“Trus,
gimana?”
“Gimana
ya bang? Kayaknya terpaksa tidur di kamar belakang deh bang. Tapi ya harus kita
bersihin dulu,”
Dika
pun terduduk lemas. Gimana nggak lemas? Seharian sibuk berdiri, salaman sama
semua tamu, trus stress juga mikirin kerjadian yang tak disangka-sangka tadi
siang, belum lagi kemaren tidurnya nggak nyenyak karena cemas memikirkan hari
ini, eh nggak taunya pas hari H, malam pertama, harus ngalamin hal kayak gini
pula!
Jam
3.00 WIB, kamar belakang sudah lebih rapi. Memang sih yang ada cuma sehelai
selimut tebal, 2 kain sarung dan guling. Kasur ternyata dipakai semua sama
keluarga kami. Terpaksa selimut tebal tadi yang jadi alas tidur kami malam ini.
Gulingnya dilintangkan dan dijadikan bantal untuk berdua. Sarung yang jadi
selimut kami. Berhubung kamar ini ventilasinya nggak dilengkapi kawat kasa,
trus kami juga nggak punya kelambu, terpaksa kami sarung itu yang jadi
pelindung kami. Obat nyamuk udah nggak ada lagi ternyata. Kemaren dibeli 3
kotak yang ukuran jumbo, udah habis semua untuk malam ini oleh keluarga kami
yang lain. Ya sudahlah, apa adanya saja. Yang penting bisa tidur.
Mungkin
karena sudah capek kali atau mungkin memang sudah ngantuk banget, nggak lama
kemudian kami tertidur. Tak kami hiraukan desing suara kepakan sayap nyamuk
yang mencoba menjadikan kami sumber makanannya. Kami tidur dengan lelapnya....
Zzzzz......zzzz......zzz.....
***
Klontang.....
Brukk....
Otomatis
aku terlonjak kaget. Dengan mata yang masih 5 watt, aku mencoba melihat sumber
bunyi. Namun, gelap. Lampu kamar ini masih belum nyala. Awalnya aku masih belum
sadar aku berada dimana sebelum aku dengar suara Dika:
“Dek,
apaan tu? Ada tikus ya di gudang ni?” tanyanya sambil memegang tanganku.
“Nggak
tau bang. Bentar, adek idupin lampunya,”
Sambil
meraba-raba dinding, aku mencari tombol lampu.
Cklek...
“Kiki,
kamu ngapain disitu?” tanyaku kaget.
Kiki,
keponakan Dika, sedang duduk dilantai. Sapu dan pel berjatuhan di sekitarnya.
“Hehehe...
lagi main petak umpet Tan. Tante sama Om kok tidur disini? Tadi dicariin sama
nenek lho. Disuruh sholat. Udah hampir subuh ni. Tante sama Om siap-siap sholat
sana. Nggak baek lho menunda-nunda waktu sholat. Trus nggak baek juga kalau
subuh gini masih tidur. Nanti rezekinya dipatok ayam lho,” ceramahnya.
“Memangnya
sekarang sudah jam berapa?” tanya Dika sambil menguap.
“Jam
4,” jawabnya.
“APA?
JAM 4???” teriakku dan Dika.
“Iya.
Kenapa Om? Tante?”
Aku
terduduk lemas.
“Bang...,”
“Dek...,”
Bruukkkk....
“Mama,
Papa, Nenek, Kakek, kesini cepat. Om Dika sama Tante Mia pingsan,” teriak Kiki
***
By: Azimuth
Note:
cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada
kesamaan nama, tempat atau karakter, itu semua kebetulan semata :D
lucu ceritanyaaa :))
BalasHapus