Halaman

10 Januari 2012

MALAM PERTAMA

Siapa bilang hidup berumah tangga itu enak? Siapa bilang kalau baru merintis kehidupan rumah tangga, jalan yang akan dilalui mulus-mulus saja? Buktinya aku. Baru berumah tangga, tapi hidup udah tersiksa. Saat malam pertama, udah menderita. Malam-malam selanjutnya? Ikuti aja kisah ini dahulu.....
***

Aku dan Dika sudah berkenalan selama tujuh tahun lebih. Kami memutuskan untuk mulai membina hubungan yang lebih dari sekedar teman, setelah lima tahun kenalan. Banyak suka dukanya. Apalagi kesibukan kami masing-masing yang membuat kami tidak mempunyai cukup waktu untuk bertemu. Tetapi komunikasi selalu kami usahakan setiap harinya.


Masa-masa itu sungguh indah. Aku bahagia. Sangat bahagia. Aku yakin kalau dia lah pangeran yang tepat untukku. Caranya menyayangiku, menjagaku, dan selalu ingin membahagiakanku, membuatku tak bisa berpaling darinya. Aku merasa amat sangat berarti karenanya.

Sekian lama kami jalani bersama. Banyak suka duka. Tapi kami tetap bertahan. Kami ingin hubungan ini bisa berlanjut hingga ke jenjang pernikahan, hingga memiliki anak cucu kelak. Sampai akhirnya beberapa tahun kemudian, keinginan itu mulai terwujud. Keluarganya datang melamar. Semua berjalan lancar. Sungguh, saat itu aku amat sangat bahagia tanpa sadar bahwa ada “sesuatu” yang tidak menyenangkan yang menanti....
***

Kesibukan mengurusi pesta pernikahan mencapai puncaknya hari ini. Besok pagi hari H nya tiba. Akad nikah akan dilaksanakan dan disambung dengan pesta. Sebagai mempelai wanita, aku tidak diperbolehkan untuk membantu persiapan ini. Aku diharuskan untuk mendekam di kamar dengan alasan menjaga stamina dan penampilan untuk besok. Tetapi memang, persiapan-persiapan yang lainnya (baju, undangan, suvenir, pemilihan hiburan, menu masakan, tempat sewa peralatan dan yang lainnya) aku berdua Dika yang mengurus. Kami ingin mempersiapkan hari pernikahan kami sebaik-baiknya. Kami ingin merasakan kenikmatan mengurusi pesta ini.
“Mi, udah dong. Jangan mondar-mandir terus,” tegur Sita, sahabatku.
“Aku gugup Sit. Aku takut kalau semuanya nggak berjalan lancar besok,”
“Udah. Kamu tenang aja. Insyaallah semua berjalan lancar kok,”
“Tapi gimana bisa tenang Sit. Lihat, diluar sibuk banget. Sedangkan aku disini nggak tau mau ngapain. Kalau misalnya aku ada kerjaan kan lumayan, bisa ngalihin pikiran juga,”
“Emangnya kamu mau ngapain ha? Kamu harus jaga kondisi kamu supaya besok bisa tampil prima. Besok kamu yang jadi ratu pesta, semua mata tertuju padamu Mia,”
“Hmm... mulai. Dasar korban iklan!” ejekku sambil melempar bantal ke Sita.

Untung ada Sita yang menemaniku disini.  Kalau nggak, alamat suntuk banget aku. Mana HP disita lagi, supaya nggak bisa menghubungi Dika. Aneh ya, masa’ dipingit sampai segitunya segala? Apa memang aku-nya yang nggak tau soal ketentuan pingit memingit?
***

Hari H.
Alhamdulillah, acara akad nikah tadi berjalan lancar. Sekarang aku dan Dika sudah sah menjadi suami istri :D

Kalau untuk acara pesta, memang ada sedikit kendala tadi. Sekitar jam 13.00 WIB, banyak orang berbondong-bondong datang ke pesta kami. Kami sebagai penyelenggara tentu saja kaget. Awalnya aku pikir, mungkin ada demo atau mungkin masyarakat sini merasa terganggu dengan suara hiburan yang kami adakan. Maklumlah, namanya juga hiburan nikahan, dimana-mana kan suaranya emang gede.
Tetapi yang lebih membuatku dan seluruh keluarga besar tercengang, orang-orang tadi malah masuk, mengambil makanan dan mencari tempat duduk. Kontan saja, kursi yang disediakan tidak cukup untuk menampung mereka semua. Mungkin jumlah mereka 300 lebih. Stok makanan pun kandas, sementara keributan karena banyak yang nggak dapat kursi mulai mengalahkan suara hiburan yang ada.

Selidik punya selidik, baru lah ketahuan dimana masalahnya. Dan ternyata semua berawal dari jejaring sosial saudara-saudara!

Yang namanya manusia, pengen dong ya ngikutin tren yang ada. Dan saat orang ramai-ramai menyebarkan undangan pernikahannya lewat jejaring sosial, aku dan Dika juga gak mau kalah. Kami invite teman-teman kami untuk datang ke acara pesta pernikahan kami. Awalnya memang hanya ingin mengundang teman-teman jauh yang nggak bisa diberikan undangan secara langsung. Teman-teman yang hanya kenalan di jejaring sosial itu, kayaknya nggak perlu kali diundang. Tapi mengingat jumlah temanku dan teman Dika yang mencapai 3000 lebih, apalagi banyak teman yang mengganti namanya dengan nama yang aneh-aneh, maka terpaksa kami invite saja sebagian besar dari list teman kami.

Kami pun bernapas lega saat beberapa hari menjelang hari H, yang menyatakan akan datang hanya sekitar 50-an orang saja. Soalnya kalau semua datang kan berabe juga. Tadi malam ku coba cek lagi, yang mastiin datang memang bertambah sih jumlahnya menjadi 67 orang. Tapi masih bisa lah. Trus, sekarang yang datang kok mem-bludak gini ya??? Jauh, amat sangat jauh dari perkiraan!!!

Mau nggak mau, seksi konsumsi jadi sibuk menghubungi rumah makan terdekat mencari tambahan makanan. Orangtuaku dan ortu Dika juga ikutan sibuk ngurusin dananya. Tinggallah aku dan Dika berdua di pelaminan. Mana pas mereka pamitan, antriannya panjang minta ampun. Aku sih nggak masalah menerima ucapan selamat dari mereka sambil mengucapkan terimakasih ke semua undangan yang datang. Aku malah bersyukur karena mereka mau mendoakan kami. Tapi yang bikin nggak tahan itu saat harus ngasi senyum termanis ke mereka semua. Bayangin aja kalau harus nahan senyum sampe 1,5 jam lebih non-stop! Pegel juga pipi jadinya.
***

Jam 20.00 WIB, pesta udah selesai. Tapi berhubung keluarga kami banyak yang nginap dirumah, jadi kalau mau mandi terpaksa ngantri. Untungnya jam 9 malam, aku udah mandi. Udah bersih semuanya, termasuk make up yang tebalnya minta ampun itu. Dika juga udah.

Berhubung udah capek seharian, pengen banget rasanya segera tidur, melepas lelah. Tapi segan juga sama keluarga yang lain kalau misalnya kami langsung tidur. Sedangkan mereka masih sibuk bercengkerama di ruang tamu. Akhirnya kami pun ikut bergabung dengan mereka.

Dan sialnya, berhubung yang ngobrol kebanyakan orangtua, trus karena jarang ngumpul jadi mereka manfaatin kesempatan ini untuk nostalgia. Terpaksalah kami mengikuti obrolan mereka yang nggak tau kapan selesainya. Mau menyela pembicaraan mereka untuk pamit tidur, segan juga rasanya.

Jam 11 malam tiba. Mata nggak bisa diajak kompromi. Kami mengikuti pembicaraan mereka sambil tidur-tidur ayam. Setengah jam kemudian barulah nenek menyuruh kami tidur karena sadar bahwa kami sudah sangat mengantuk.

Dengan hati penuh suka cita, kami pun masuk kamar dan mengunci pintu. Rasa kantuk perlahan berkurang. Setelah tiga hari dipingit, baru sekarang lah kami bebas bercengkrama berdua. Kalau seharian tadi kan masih kurang bebas karena banyak dikelilingi keluarga.

Rasa kantuk kami jadi hilang total 15 menit kemudian. Keponakan-keponakan kami yang dilepas bermain oleh orangtuanya, sibuk berlari kesana kemari sambil berteriak-teriak. Gimana bisa tidur kalau berisik gitu?

“Bang, kalau gini caranya, kayaknya kita nggak bisa tidur deh malam ini. Padahal Mia udah capek banget,” keluhku pada Dika.
“Sabar ya dek. Sini abang ninabobo-in,” ucapnya seraya membelai rambutku dan menyanyikan lagu-yang-aku-nggak-tau-apa-judulnya.
Nggak lama kemudian, aku pun mulai terlelap.
Tok...tok...tok....
“Om, Tante... buka pintunya dong!!!”
Otomatis aku terlonjak kaget. Dika juga kelihatan kaget. Gimana nggak kaget kalau suasana yang udah lumayan tentram barusan karena suara anak-anak itu nggak kedengeran lagi, tiba-tiba dihancurkan dengan suara teriakan mereka dan ketukan serta GEDORAN KAMARKU!!!
Arggh..... gangguin tidur aja!
“Bentar ya. Abang liat dulu,” kata Dika sambil turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar.

Tanpa dikomando lagi, anak-anak itu langsung berlarian masuk ke kamar dan naik ke tempat tidur kami. Bayangin aja, 13 orang anak-anak yang umurnya 3-7 tahun naik semua ke tempat tidur! Aku pun sampai terhimpit-himpit jadinya.
Dika bengong sambil bergantian memandangku dan anak-anak ini. Aku pun nggak kalah bengong.

“Tante, kami tidur disini ya. Tempat tidurnya cantik. Empuk lagi. Diluar nggak enak. Banyak nyamuk,” ucap Vivi, ponakanku, anak dari sepupuku.
Anak-anak yang lainnya pun pada heboh minta diizinin tidur di kamarku. Aku dan Dika hanya bisa menghela napas panjang.
“Gimana bang?”
“Abang juga bingung. Mana abang juga udah lemas. Capek juga seharian ini walau nggak banyak kerja,”
Aku menatap ponakan-ponakan kami. Oh no! Udah ada yang tidur ternyata!
“Ya udahlah bang, mau gimana lagi. Terpaksa kita biarin mereka tidur disini,”
Dika menghela napas panjang. Aku cuma bisa tertawa. Terpaksa. Kami pun membangunkan ponakan yang udah tertidur. Kami  susun mereka supaya tidurnya rapi. Karena memang jumlahnya banyak, otomatis nggak muat semua diatas tempat tidur.
Citra, ponakannya Dika yang berusia 3 tahun, berkata dengan sok bijak:
“Ya udah Om, Tante, nggak usah bingung. Kalau nggak muat semua di tempat tidur, Citra di kolong tempat tidur juga nggak pa-pa kok,”

Otomatis aku dan Dika tertawa. Lumayan, keluguannya bisa menghilangkan sedikit penat badan. Setelah diakal-akali, akhirnya hanya bisa 6 orang yang tidur di atas (itupun terpaksa meja perhiasan di deketin ke tempat tidur dan sebagian dari mereka tidurnya diatas meja perhiasan!) dan yang lainnya tidur di lantai. Untung aja lantainya dilapisi karpet. Oh iya, si Citra tidurnya di bawah kolong tempat tidur. Dia keukeuh pengen tidur disitu. Nggak mau pindah. Saat disuruh tidur diluar pun, nggak ada yang mau. Pengennya tidur di kamar ini.
Saat berhasil menyusun tempat tidur bagi mereka, kami pun bernapas lega. Tapi...
“Eh dek, trus kita tidur dimana?” tanya Dika sambil memandangku dan isi kamar yang penuh dengan anak-anak.

Aku terdiam. Baru nyadar kalau ternyata memang nggak ada tempat lagi untuk kami. Terpaksa aku dan Dika tidur diluar, gabung sama keluarga-keluarga yang lain di ruang tamu. Tapi yang tak aku sangka ternyata ruang tamu pun udah penuh. Keluarga-keluarga jauh yang nggak bisa pulang hari ini terpaksa menginap di rumahku malam ini. Pantas saja anak-anak itu nggak mau tidur diluar. Jangankan tempat untuk kami, tempat untuk mereka aja nggak ada!
“Jadi gimana dek? Kita tidur dimana?” tanya Dika.
“Dimana ya bang? Kamar satu lagi ada orang. Ibu-ibu yang punya anak bayi tidur disitu semua. Tidur di dapur nggak mungkin. Peralatan makan berserak semua disitu. Masa’ mau tidur di kamar mandi? Yang nggak ada orang kan cuma kamar belakang. Tapi kamar tu udah dijadikan gudang selama beberapa bulan ini,”
“Kalau tidur di hotel, mau?”
“Disini kan nggak ada hotel, Abang! Penginapan ada. Tapi kan pada penuh semua. Makanya keluarga-keluarga kita terpaksa nginap disini, nggak jadi di penginapan,”
“Trus, gimana?”
“Gimana ya bang? Kayaknya terpaksa tidur di kamar belakang deh bang. Tapi ya harus kita bersihin dulu,”

Dika pun terduduk lemas. Gimana nggak lemas? Seharian sibuk berdiri, salaman sama semua tamu, trus stress juga mikirin kerjadian yang tak disangka-sangka tadi siang, belum lagi kemaren tidurnya nggak nyenyak karena cemas memikirkan hari ini, eh nggak taunya pas hari H, malam pertama, harus ngalamin hal kayak gini pula!

Jam 3.00 WIB, kamar belakang sudah lebih rapi. Memang sih yang ada cuma sehelai selimut tebal, 2 kain sarung dan guling. Kasur ternyata dipakai semua sama keluarga kami. Terpaksa selimut tebal tadi yang jadi alas tidur kami malam ini. Gulingnya dilintangkan dan dijadikan bantal untuk berdua. Sarung yang jadi selimut kami. Berhubung kamar ini ventilasinya nggak dilengkapi kawat kasa, trus kami juga nggak punya kelambu, terpaksa kami sarung itu yang jadi pelindung kami. Obat nyamuk udah nggak ada lagi ternyata. Kemaren dibeli 3 kotak yang ukuran jumbo, udah habis semua untuk malam ini oleh keluarga kami yang lain. Ya sudahlah, apa adanya saja. Yang penting bisa tidur.

Mungkin karena sudah capek kali atau mungkin memang sudah ngantuk banget, nggak lama kemudian kami tertidur. Tak kami hiraukan desing suara kepakan sayap nyamuk yang mencoba menjadikan kami sumber makanannya. Kami tidur dengan lelapnya....
Zzzzz......zzzz......zzz.....
***

Klontang.....
Brukk....
Otomatis aku terlonjak kaget. Dengan mata yang masih 5 watt, aku mencoba melihat sumber bunyi. Namun, gelap. Lampu kamar ini masih belum nyala. Awalnya aku masih belum sadar aku berada dimana sebelum aku dengar suara Dika:
“Dek, apaan tu? Ada tikus ya di gudang ni?” tanyanya sambil memegang tanganku.
“Nggak tau bang. Bentar, adek idupin lampunya,”
Sambil meraba-raba dinding, aku mencari tombol lampu.

Cklek...
“Kiki, kamu ngapain disitu?” tanyaku kaget.
Kiki, keponakan Dika, sedang duduk dilantai. Sapu dan pel berjatuhan di sekitarnya.
“Hehehe... lagi main petak umpet Tan. Tante sama Om kok tidur disini? Tadi dicariin sama nenek lho. Disuruh sholat. Udah hampir subuh ni. Tante sama Om siap-siap sholat sana. Nggak baek lho menunda-nunda waktu sholat. Trus nggak baek juga kalau subuh gini masih tidur. Nanti rezekinya dipatok ayam lho,” ceramahnya.
“Memangnya sekarang sudah jam berapa?” tanya Dika sambil menguap.
“Jam 4,” jawabnya.
“APA? JAM 4???” teriakku dan Dika.
“Iya. Kenapa Om? Tante?”
Aku terduduk lemas.
“Bang...,”
“Dek...,”
Bruukkkk....
“Mama, Papa, Nenek, Kakek, kesini cepat. Om Dika sama Tante Mia pingsan,” teriak Kiki
***
By: Azimuth


Note: cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama, tempat atau karakter, itu semua kebetulan semata :D

1 komentar:

Terimakasih ya karena sudah berkunjung dan memberi komentar di postingan ini ^_^

Oiya, kalau kamu ingin berkomentar, tapi nggak punya akun blogger, kamu bisa pilih openID, ntar bisa masukin link email ato URL kamu lainnya. Lalu, kasi komentar deh :)