Saat lagi nyetrika, seperti
biasa, pikiranku pun melanglang buana kemana-mana. Momen-momen nyetrika emang
momen yang pas untuk mengkhayal ataupun sekedar memikirkan kembali apa-apa yang
udah terjadi dalam hidup. Maklumlah, nyetrika kan nggak butuh konsentrasi
tinggi.
Saat itu lah aku teringat ke
kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadiannya terkait dengan judul diatas.
Jadi, ceritanya kan aku mau beli baju nih. Supaya pilihannya banyak, aku menuju
salah satu pusat perbelanjaan yang terkenal di Pekanbaru. Keliling-keliling deh
di pusat perbelanjaan itu mencari baju yang pas. Kalau nggak salah, bajunya mau
aku hadiahin buat seorang teman.
Aku jalan menyusuri gang antara
toko sambil melihat-lihat apakah ada baju yang bagus di toko tersebut.
Melihatnya waktu itu dari luar saja, nggak masuk ke dalam. Saat melewati satu
toko, aku melihat ada baju yang motifnya bagus. Penjualnya (sebagaimana penjual
lainnya) langsung membujuk-bujuk untuk masuk dan melihat-lihat koleksinya. Aku
pun masuk.
Aku bertanya apakah bisa melihat
baju yang tergantung diluar tokonya, di bagian atas. Bapak pemilik toko
membolehkan dan mengambil baju yang aku maksud. Motifnya memang bagus, tetapi
bahannya tipis dan agak kasar. Bapak itu membujuk agar aku membeli baju
tersebut dengan seribu janji surga bahwa bajunya bagus dan enak dipakai. Nggak
enak juga kan kalau jujur bahwa aku nggak suka bahan bajunya yang tipis dan
agak kasar? Takutnya ntar bapak tersebut sakit hati walau kenyataannya memang
seperti itu. Maka, aku pun cuma menggeleng dan tersenyum sambil mengatakan
kurang cocok dengan bajunya. Selera nggak bisa dipaksa toh?
Bapak tersebut membujuk untuk
melihat koleksinya yang lain. Aku pikir, tak ada salahnya kan. Syukur-syukur
jika menemukan baju yang pas disini sehingga tidak harus keliling lagi.
Kebetulan saat itu bulan puasa, capek juga kalau harus keliling lama-lama, mana
hawa di pusat perbelanjaan itu lumayan panas.
Setelah kulihat-lihat sekilas,
ada satu yang lumayan bagus, hanya saja baju tersebut lengan panjang. Aku
mencari baju lengan pendek karena temanku itu jarang memakai baju lengan
panjang. Daripada nggak dipakai ntar hadiahnya, kan sayang. Lagipula, setelah
dilihat lebih dekat, bahannya kurang bagus.
Aku pun akhirnya terpaksa menolak
bujukan bapak itu untuk membeli baju tersebut. Karena bingung mau bilang apa
alasannya, aku pun bilang kalau aku mencari baju lengan pendek.
Bapak tersebut bilang, bisa kok
dipendekkan lengannya. Tinggal dijahit aja. Ntar biar bapak tersebut yang
menjahitkan di tukang jahit yang berada di areal pusat perbelanjaan tersebut.
Biaya jahit yang hampir setengah harga baju tersebut aku yang nanggung.
Gila! Harga bajunya aja udah
mahal, ditambah lagi biaya jahit, over budget nih. Mana harus nunggu bapak
tersebut menjahitkan baju dan harus menunggui tokonya. Kalau ada yang mau
belanja gimana? Dengan tidak enak hati, aku pun terpaksa menolak tawaran bapak
tersebut. Sambil bilang maaf, akupun mengatakan bahwa aku tidak jadi membeli
bajunya.
Eh, abis tu si bapak malah marah-marah.
Mukanya yang sejak awal melayani terlihat masam (mungkin capek kali ya karena
puasa. Positive thinking aja...)
semakin tidak enak dilihat. Bapak tersebut mengomeliku karena tidak jadi
membeli.
Aku yang awalnya merasa tidak
enak karena tidak membeli, jadi gondok dong digituin! Helllloooo! Baru juga 2
baju yang dilihat. Bukan semua isi tokonya aku obrak-abrik! Lagian bukannya
pembeli itu raja ya? Haknya pembeli dong mau beli apa nggak! Kalau nggak mau
beli ya gimana? Emangnya aku orang kaya apa yang kalau mau beli barang, nggak
usah milih-milih dulu tapi langsung beli aja? Kalau nggak suka trus tinggal
buang?
Aku yang waktu itu masih
berstatus mahasiswa, belum punya penghasilan sendiri, dan tidak memiliki banyak
uang, wajar dong kalau ingin pilih-pilih agar tidak salah beli? Apalagi ini
ceritanya mau diberikan kepada seseorang. Wajar juga kan kalau pengen cari yang
terbaik? Aku pun akhirnya memilih hengkang dari toko tersebut tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Bodo’ deh bapak itu mau bilang apa.
Aku jadi teringat, lain kali
pernah menemani seseorang belanja. Ibu-ibu. Malah ya ibu-ibu itu kalau nggak
suka sama barangnya ya bilang terus terang. Bahkan nggak jarang sambil
melihat-lihat, ibu itu mengatakan kepada penjualnya bahwa barangnya jelek, yang
ini terlalu tipis, yang ini motifnya norak, dsb. Memang mungkin kenyataannya
seperti itu, tapi nggak enak aja kan sama penjualnya. Apalagi kulihat muka
penjualnya udah lain gitu. Kasian juga kan kalau penjualnya sakit hati. Untung
aja waktu itu penjualnya cuma diam. Aku bayangin, gimana seandainya kalau aku ngomong seperti itu kepada bapak
penjual tadi. Saat milih-milih bajunya, aku katakan saja terus terang “yang ini
motifnya jelek Pak. Saya nggak suka,”
Atau “Yang ini kainnya tipis kali
Pak, menerawang nih,”
Gimana ya perasaan bapak tadi
kalau aku ngomong gitu? Tambah gondok kali ya? Atau memang harus jujur gitu
ya???
Lanjutan ceritanya, silakan baca disini ya.....
Lanjutan ceritanya, silakan baca disini ya.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih ya karena sudah berkunjung dan memberi komentar di postingan ini ^_^
Oiya, kalau kamu ingin berkomentar, tapi nggak punya akun blogger, kamu bisa pilih openID, ntar bisa masukin link email ato URL kamu lainnya. Lalu, kasi komentar deh :)