Halaman

1 Januari 2014

Pembeli Adalah Raja (Part 1)



Saat lagi nyetrika, seperti biasa, pikiranku pun melanglang buana kemana-mana. Momen-momen nyetrika emang momen yang pas untuk mengkhayal ataupun sekedar memikirkan kembali apa-apa yang udah terjadi dalam hidup. Maklumlah, nyetrika kan nggak butuh konsentrasi tinggi.

Saat itu lah aku teringat ke kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadiannya terkait dengan judul diatas. Jadi, ceritanya kan aku mau beli baju nih. Supaya pilihannya banyak, aku menuju salah satu pusat perbelanjaan yang terkenal di Pekanbaru. Keliling-keliling deh di pusat perbelanjaan itu mencari baju yang pas. Kalau nggak salah, bajunya mau aku hadiahin buat seorang teman.


Aku jalan menyusuri gang antara toko sambil melihat-lihat apakah ada baju yang bagus di toko tersebut. Melihatnya waktu itu dari luar saja, nggak masuk ke dalam. Saat melewati satu toko, aku melihat ada baju yang motifnya bagus. Penjualnya (sebagaimana penjual lainnya) langsung membujuk-bujuk untuk masuk dan melihat-lihat koleksinya. Aku pun masuk.

Aku bertanya apakah bisa melihat baju yang tergantung diluar tokonya, di bagian atas. Bapak pemilik toko membolehkan dan mengambil baju yang aku maksud. Motifnya memang bagus, tetapi bahannya tipis dan agak kasar. Bapak itu membujuk agar aku membeli baju tersebut dengan seribu janji surga bahwa bajunya bagus dan enak dipakai. Nggak enak juga kan kalau jujur bahwa aku nggak suka bahan bajunya yang tipis dan agak kasar? Takutnya ntar bapak tersebut sakit hati walau kenyataannya memang seperti itu. Maka, aku pun cuma menggeleng dan tersenyum sambil mengatakan kurang cocok dengan bajunya. Selera nggak bisa dipaksa toh?

Bapak tersebut membujuk untuk melihat koleksinya yang lain. Aku pikir, tak ada salahnya kan. Syukur-syukur jika menemukan baju yang pas disini sehingga tidak harus keliling lagi. Kebetulan saat itu bulan puasa, capek juga kalau harus keliling lama-lama, mana hawa di pusat perbelanjaan itu lumayan panas.

Setelah kulihat-lihat sekilas, ada satu yang lumayan bagus, hanya saja baju tersebut lengan panjang. Aku mencari baju lengan pendek karena temanku itu jarang memakai baju lengan panjang. Daripada nggak dipakai ntar hadiahnya, kan sayang. Lagipula, setelah dilihat lebih dekat, bahannya kurang bagus.

Aku pun akhirnya terpaksa menolak bujukan bapak itu untuk membeli baju tersebut. Karena bingung mau bilang apa alasannya, aku pun bilang kalau aku mencari baju lengan pendek.

Bapak tersebut bilang, bisa kok dipendekkan lengannya. Tinggal dijahit aja. Ntar biar bapak tersebut yang menjahitkan di tukang jahit yang berada di areal pusat perbelanjaan tersebut. Biaya jahit yang hampir setengah harga baju tersebut aku yang nanggung.

Gila! Harga bajunya aja udah mahal, ditambah lagi biaya jahit, over budget nih. Mana harus nunggu bapak tersebut menjahitkan baju dan harus menunggui tokonya. Kalau ada yang mau belanja gimana? Dengan tidak enak hati, aku pun terpaksa menolak tawaran bapak tersebut. Sambil bilang maaf, akupun mengatakan bahwa aku tidak jadi membeli bajunya.

Eh, abis tu si bapak malah marah-marah. Mukanya yang sejak awal melayani terlihat masam (mungkin capek kali ya karena puasa. Positive thinking aja...) semakin tidak enak dilihat. Bapak tersebut mengomeliku karena tidak jadi membeli.

Aku yang awalnya merasa tidak enak karena tidak membeli, jadi gondok dong digituin! Helllloooo! Baru juga 2 baju yang dilihat. Bukan semua isi tokonya aku obrak-abrik! Lagian bukannya pembeli itu raja ya? Haknya pembeli dong mau beli apa nggak! Kalau nggak mau beli ya gimana? Emangnya aku orang kaya apa yang kalau mau beli barang, nggak usah milih-milih dulu tapi langsung beli aja? Kalau nggak suka trus tinggal buang?

Aku yang waktu itu masih berstatus mahasiswa, belum punya penghasilan sendiri, dan tidak memiliki banyak uang, wajar dong kalau ingin pilih-pilih agar tidak salah beli? Apalagi ini ceritanya mau diberikan kepada seseorang. Wajar juga kan kalau pengen cari yang terbaik? Aku pun akhirnya memilih hengkang dari toko tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bodo’ deh bapak itu mau bilang apa.

Aku jadi teringat, lain kali pernah menemani seseorang belanja. Ibu-ibu. Malah ya ibu-ibu itu kalau nggak suka sama barangnya ya bilang terus terang. Bahkan nggak jarang sambil melihat-lihat, ibu itu mengatakan kepada penjualnya bahwa barangnya jelek, yang ini terlalu tipis, yang ini motifnya norak, dsb. Memang mungkin kenyataannya seperti itu, tapi nggak enak aja kan sama penjualnya. Apalagi kulihat muka penjualnya udah lain gitu. Kasian juga kan kalau penjualnya sakit hati. Untung aja waktu itu penjualnya cuma diam. Aku bayangin, gimana seandainya  kalau aku ngomong seperti itu kepada bapak penjual tadi. Saat milih-milih bajunya, aku katakan saja terus terang “yang ini motifnya jelek Pak. Saya nggak suka,”
Atau “Yang ini kainnya tipis kali Pak, menerawang nih,”
Gimana ya perasaan bapak tadi kalau aku ngomong gitu? Tambah gondok kali ya? Atau memang harus jujur gitu ya???

Lanjutan ceritanya, silakan baca disini ya..... 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih ya karena sudah berkunjung dan memberi komentar di postingan ini ^_^

Oiya, kalau kamu ingin berkomentar, tapi nggak punya akun blogger, kamu bisa pilih openID, ntar bisa masukin link email ato URL kamu lainnya. Lalu, kasi komentar deh :)